Kesadaran
Manusia dan Paradigma Pendidikan
Berawal
dari hasil analisa Paulo Freire mengenai tiga kesadaran dalam diri manusia,
yaitu kesadaan magis (magical
consciousness), kesadaran naif (naival
consciousness), kesadaran kritis (critical
consciousness), bahwa ketiganya
merupakan embrio lahirnya tiga buah paradigma pendidikan versi Henry Giroux dan
Aronouwitz.
Ø Magical consciousness, merupakan
kesadaran masyarakat yang beranggapan bahwa manusia tidak mempunyai daya untuk
melakukan kehedaknya, karena segala sesuatu yang ada dibumi ini adalah hasil
dari pengaruh hal-hal yang ghaib, mistis, maupun supranatural. Sehingga muncul
masyarakat yang selalu pasrah akan taqdir. Hal ini yang kemudian melahirkan
sebuah paradigma pendidikan konservatif.
Paradigma pendidikan konservatif ini
cenderung menganut aliran filsafat Esensialisme.
Artinya pendidikan harus didasari dengan nilai-nilai yang luhur dan teruji oleh
waktu agar selalu berjalan dengan terartur.
Esensialisme sendiri didasari oleh filsafat idealisme
dan realisme sebagai akar pemikirannya,
sehingga esensialisme pun
tidak terlepas dengan ontologi
idealisme dan realisme.
Sedangkan
implikasi dari paradigma konservatif dalam filsafat pendidikan Islam
diantaranya yaitu: 1. Manusia hanya akan percaya pada hal-hal yang bersifat
mitos dan ghaib. 2. Manusia akan mudah pasrah terhadap sesuatu. 3. Tidak akan
punya ghirrah dalam diri manusia
untuk berusaha merubah diri dan lingkungannya. 4. Dalam ranah pendidikan,
sekolah harus mempertahankan metode-metode tradisional yang berhubungan dengan
disiplin mental. 5. Pendidikan berdasarkan atas nilai-nilai yang tinggi, yang
hakiki kedudukannya dalam kebudayaan.
6. Akan terjadi kejumudan dalam
pemikiran khazanah Islam.
Ø Naival consciousness, merupakan
kesadaran masyarakat yang percaya akan kekuatan natural (alam), dengan mengandalkan kekuatan tangan
manusia. Hal ini yang mengakibatkan anggapan mereka bahwa
untuk menghasilkan maupun merubah suatu keadaan di bumi ini perlu adanya kehendak dengan kekuatan tangan manusia. Kemudian hal ini melahirkan paradigma pendidikan liberal.
Paradigma pendidikan liberal ini cenderung menganut aliran filsafat Progresivisme. Dasarnya bahwa
pengetahuan dan kekuatan tangan manusia mempunyai kemampuan dalam menghadapi
dan mengatasi masalah yang mengancam dirinya.
Aliran progresivisme ini kurang menyetujui adanya pendidikan yang
bercorak otoritarianisme dan absolutism (negative
and diagnostic), karena bagi mereka lebih percaya akan kemampuan manusia
sebagai subjek yang memiliki potensi-potensi alamiah (positive and remedial).
Dalam pandangan ontologi progresivisme ada tiga hal sebagai tumpuannya, yaitu asas hereby (asas keduniaan), pengalaman sebagai realita, dan
pikiran (mind) sebagai fungsi adanya
eksistensi manusia. Sedangkan pandangan epistemologinya mengungkapkan bahwa
pengetahuan itu adalah sebuah informasi, fakta, hukum, prinsip, proses, dan
kebiasaan yang terakumulasi dalam pribadi sebagai proses interaksi dan
pengalaman.
Implikasinya dalam pendidikan Islam: 1. Bahwa pendidikan bukan hanya transfer of knowledge saja, melainkan
adanya sebuah proses melatih kemampuan berfikir siswa. 2. Bahwa manusia
mempunyai akal dan potensi sebagai kelebihan dibanding dengan makhluk yang
lain. 3. Kurang mengakui adanya eksistensi tuhan. 4. Terlalu percaya diri
dengan kemampuan yang dimiliki tanpa memerlukan bantuan orang lain.